Kategori Berita

ZMedia

Mengenal Jumud, Faktor Penyebab Kemerosotan Peradaban Islam

Faisol abrori
Berita ambon Berita maluku
Selasa, 12 Mei 2020
Pengertian Jumud
Jumud atau kejumudan adalah sikap tidak mau berubah, dalam istilah lain disebut stagnan, lawan kata dari dinamis. Orang yang bersikap jumud, akan mempertahankan apa yang selama ini dilakukan, meskipun dibutuhkan adanya perubahan, namun pelaku jumud tetap tidak mau menerima akan hal itu.

Jumud ibarat air yang menggenang, tidak mengalir. Air yang menggenang, menjadi membahayakan orang yang ingin menggunakannya, bisa saja air tersebut terkena banyak bakteri, yang tersebar dalam air tersebut, tentu bila dikonsumsi, akan menimbulkan masalah baru dan seperti itulah wajah peradaban Islam setelah kemajuannya.

Ciri-ciri orang berperilaku jumud adalah mereka memiliki pemahaman yang kaku, dalam artian sulit untuk melakukan dialog interaktif atau sekadar diskusi yang objektif. Orang yang bersikap jumud juga buta akan diversitas atau keberagaman pola pikir dan sudut pandang, sehingga mereka sangat mudah melabeli orang salah dan benar berdasarkan kebenaran yang mereka yakini mutlak, padahal Islam sendiri memberi wadah dan tempat untuk pembaharuan jika itu memang dibutuhkan.

Dalam peradaban Islam, hal yang paling menjauhkan seseorang dari agama adalah kejumudan.

Para pembaharu Islam semuanya memerangi hal yang sama, yakni jumud. Mulai dari Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Jamaludin al-Afghani, dan pembaharu - pembaharu lainnya, beliau-beliau tidak menghendaki kejumudan tumbuh subur dalam tubuh Islam.

Muhammad Abduh misalnya, menyatakan dalam gagasannya: Kemunduran Islam yang konservatif atau "kolot" itu disebabkan karena kejumudan penganutnya. Begitupun dengan Muhammad Iqbal yang pemikirannya menentang keras kejumudan itu sendiri.

Selanjutnya hal senada juga dilantangkan oleh pembaharu Islam, Jamaludin al-Afghani, di mana gagasan utama dari perjuangannya memurnikan ajaran islam adalah untuk menyadarkan umat muslim, bahwa interpretasi akan teks keagamaan itu penting, serta kita juga dituntut untuk mendinamiskan seiring berubahnya zaman.

Analogi jumud yang cukup jelas digambarkan Jamaludin al-Afghani yakni pada kasus Qadha dan Qadar atau hemat penulis pada masalah takdir.

Umat islam menanggapi hal-hal yang menimpa dirinya sebagai satu hal mutlak yang menyebabkan ke-stagnan-an dalam melakukan kehidupan. Misal saat manusia terkena musibah, lantas dia menyatakan, "ini sudah takdir"

Tentu hal ini merupakan Kemerosotan yang nyata, padahal kita mampu menganalisis sebab-musababnya. Harus dicari dulu, sebabnya apa, sangkut pautnya dengan perilaku manusia apa, dan di saat yang bersamaan, juga harus menetapkan dalam hati, bahwa Allah Yang Maha Mengatur segalanya.

Jamaludin memberikan solusi, bahwa untuk menghilangkan kejumudan, memang sudah seharusnya umat islam harus kembali kepada kesucian hati, hubungan yang baik dengan Tuhannya, maupun antara sesama manusia.

Dinamis dalam beragama itu perlu, karena tidak selamanya hukum suatu hal itu sama di masa yang akan datang. Karena banyak hal baru yang membutuhkan "renovasi" atau kajian ulang terhadap teks keagamaan.

Langkah selanjutnya yang bisa kita terapkan adalah sikap haus akan ilmu. Mengapa? Karena ilmu sendiri sifatnya dinamis, semakin kita cinta, semakin banyak wawasan yang kita dapatkan.

Wallahu a'lam 
>