Kategori Berita

ZMedia

Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana

Faisol abrori
Berita ambon Berita maluku
Minggu, 20 Desember 2020
PERTANGGUNGJAWABAN DALAM HUKUM PIDANA DAN KEMAMPUAN BERTANGGUNG JAWAB

Hukum pidana memiliki karakter khas sebagai hukum (yang berisikan) perintah. Perintah dan larangan tegas memberikan nuansa khas pada hukum pidana. Pokok soal hukum pidana dalam konteks perlindungan obyek-obyek atau kepentingan hukum adalah pentaatan larangan dan perintah yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan oleh pihak yang dituju oleh ketentuan pidana tersebut. 

Pihak yang dituju dalam hal ini adalah masyarakat, dimana hukum pidana bertujuan untuk mengatur masyarakat agar dapat menjadi masyarakat yang lebih baik. Untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah satu alat itu, menurut Roeslan Saleh, adalah Hukum Pidana. Dengan hukum pidana pemerintah secara memaksa dapat mencampuri kehidupan sosial dan ekonomi, lalu-lintas, kesehatan, keselamatan kerja, lingkungan hidup dan sebagainya.

Di dalam pembahasan hukum pidana tidak lepas dari masalah yang ada padanya pula, salah satu pokok permasalahan hukum pidana disini tidak lain adalah tindak pidana itu sendiri. Salah satu yang harus dipenuhi dalam tindak pidana adalah unsur subjektifnya, yaitu tentang adanya kesalahan (dolus ataupun culpa), adapun persamaan dan perbedaan antara kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) sebagai berikut, Kesengajaan mengandung kesalahan yang berlainan jenis dengan kealpaan, tetapi dasarnya adalah sama, yaitu : 1) adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana; 2) adanya kemampuan bertanggungjawab; 3) tidak adanya alasan pemaaf. Akan tetapi bentuknya berbeda. Dalam kesengajaan, sikap batin orang yang melakukannya adalah berbeda. Dalam kesengajaan, sikap batin orang yang melakukannya adalah menentang larangan. Dalam kealpaan, orang yang melakukannya kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

BACA : TEORI KESENGAJAAN , ERROR IN PERSONA DAN ABERATIO ICTUS

 Dewasa ini kasus yang sering mengalami pro dan kontra di bidang hukum adalah kasus yang berkaitan dengan kealpaan. Kealpaan yang biasanya dilakukan oleh kebanyakan masyarakat yakni dalam kasus kecelakaan lalu lintas apalagi kecelakaan tersebut sampai mengakibatkan korban meninggal dunia. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia seseorang dapat dipidana karena kealpaannya sebagaimana diatur dalam pasal 359 KUHP. Dalam unsur kelalaian atau kealpaan dalam pasal 359 KUHP dikatakan sifatnya lebih umum atau ruang lingkupnya luas. Memang semua tindakan kelalaian yang bisa menyebabkan orang lain meninggal dasarnya bisa dijerat dengan pasal 359 KUHP. Akan tetapi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kelalaian yang berhubungan dengan lalu lintas maka sudah diatur lebih khusus di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut. Jadi unsur kelalaian atau kealpaan yang ada di dalam pasal 359 KUHP mengatur mengenai kelalaian yang sifatnya umum dan ruang lingkup yang luas bukan mengenai kelalaian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pertanyaan yang harus kita kipas adalah: 

  • Bagaimana pertanggung jawaban dalam hukum pidana?
  • Bagaimana kemampuan bertanggung jawab?

PertanggungJawaban Dalam Hukum Pidana.

Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.

Jadi tidak hanya mengetahui bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana kepada orang lain, melainkan apakah orang tersebut tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana tersebut, maka orang tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, sedangkan dasar dari dipidana atau pertanggungjawaban seseorang adalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Memanglah benar mana mungkin orang yang tidak melakukan kesalahan dapat dipidana, tapi kapankah seseorang itu dikatakan mempunyai kesalahan.

Pompe menyingkat bahwa kesalahan itu dengan dapatnya dicela dan dapat dihindari perbuatan yang dilakukan, menurutnya akibat dari hal ini adalah dapat dicela, pada hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu, karena kehendak si pembuat terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapt dicela.

Kemudian pompe mendefinisikan arti dari kelakuan yakni suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seorang yang manpak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.

Simons berpendapat mengenai kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya. Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan :

1. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan. 

2. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Sebagai kesimpulan mengenai hal diatas bahwa yang pertama mengatakan mengenai keadaan bathin dari orang yang melakukan pidana, dalam ilmu hukum pidana merupakan hal yang biasa dikatakan dalam pertanggungjawaban hukum, mengenai hal yang kedua yaitu hubungan antara bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.

Kenyataan bahwa tidak mungkin dipikirkan tentang adanya kesenjangan maupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab, begitu halnya dengan tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggungjawab.

Kemudian karena tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan kemudian semua unsur tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan.

  • Untuk adanya kesalahan terdakwa harus:
  • Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
  • Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab
  • Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan
  • Tidak adanya alasan pemaaf

Kemampuan Bertanggung Jawab

Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan bathin orang yang normal, yang sehat. Dalam KUHP yang berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab adalah pasal 44. Menurut pasal 44, orang yang tidak dapat dihukum adalah orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena ; kurang sempurna akalnya, yang dimaksud dengan perkataan akal ialah kekuatan pikiran, daya pikiran dan kecerdasan pikiran. Orang yang dapat dianggap kurang sempurna akalnya ialah idiot,buta,tuli, dan bisu mulai lahir. Sakit berubah akalnya, yang dimaksud ialah sakit gila, epilepsy, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.

Demikian ketentuan dari hukum positif kita yang mana sesuai dengan yang dikatakan dari segi teori bahwa  dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dia mampu berbuat. Berbeda dengan system hukum adat, bahwasannya disuatu daerah pedalaman yang masih berlaku hukum adat, yang mana di daerah tersebut mengupayakan pertahanan dari masyarakat terhadap orang gila yang membunuh orang sama dengan upaya pertahanan dari orang yang melakukan perbuatan serupa, di daerah bali berlaku hukum bahwa orang gila dan anak yang berumur dibawah delapan tahun tidak dipidana, kecuali melakukan perbuatan pidana yang tergolong sadtata ji. di batak seorang bapak harus mempertanggungjawabkan perbuatan melawan hukum anaknya yang belum cukup umur.

Lain halnya dengan hukum positif kita yang masih membedakan orang yang mampu bertanggungjawab dan tidak, maka penulis mengatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:

  • Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
  • Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
  • Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Contoh kasus model majalah dewasa Novi Amalia kembali menjadi sorotan setelah mengamuk ingin telanjang di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tadi pagi. Tahun lalu, Novi pernah kedapatan mengemudi setengah telanjang di Taman Sari, Jakarta Barat.                                                               

Kepala Sub Bagian Psikolog Sumber Daya Manusia Polda Metro Jaya, AKBP Arief Nurcahyo mengindikasi perilaku yang kerap ingin melepaskan pakaiannya ketika 'kumat' merupakan cerminan depresi Novi                                                                                

"Sebenarnya indikasinya sudah jelas, mesti direhabilitasi dan pendampingan seorang psikiater. Ketika menghadapi tekanan, ada dua tipe orang. Yang ingin lari dan menghadapi kenyataan. Novi mungkin termasuk yang pertama.                                                            

Novi mesti direhabilitasi dengan didampingi psikiater. Dia menuturkan, kejadian tersebut akan terulang jika tidak ditempuh jalur tersebut                                                                          

"Orang lain bisa menjadi korban, tetapi pelaku (Novi) juga seorang korban. Novi korban dari narkoba, lingkungan yang negatif dan dari keluarga yang berantakan                                             Novi memang pernah menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur. Pengacara Novi Chris Sam Sewu menjelaskan kliennya menjalani detoksifikasi.

Untuk menentukan seseorang mampu bertanggungjawab ada dua faktor, yakni faktor akal dan faktor hendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan. Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama diperbolehkan dan mana yang tidak, menurut penulis lain bahwa kehendak bukanlah merupakan factor dalam menentukan mampu tidaknya orang bertanggungjawab, dikarenakan bahwa kehendak itu bergantung dan lanjutan saja dari pada akal.

Dalam hal ini tidak mampu bertanggungjawab karena keadaan batinnya tidak normal, sedangkan dalam hal ada alasan pemaaf, karena fungsi batinnya yang tidak normal, dan ini disebabkan karena keadaan dari luar, kalau organ batinnya sendiri normal.

Orang yang tidak sehat akalnya, tidak dapat menentukan kehendaknya sesuai dengna yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, kemampuan bertanggungjawab dalam merumuskan perundang-undangn ada beberapa jalan menurut KUHP kita, apabila seseorang tidak mampu melakukan bertanggungjawab karena sebab-sebab tertentu, sehingga dipandang dan dinilai sebagai tidak mampu bertanggungjawab, merumuskannya dengan cara deskriptif normative jadi, maksudnya menentuakan dalam merumuskan demikian dinyatakan oleh psychiater bahwa terdakwa memang gila, secara normative jika dipandang memang tidak mampu bertanggungjawab.

Anak yang belum cukup umur, dimaksudkan karena mereka belum bisa menginsyafi perbuatannya disebabkan pertumbuhan jiwannya belum cukup penuh atau karena hipnotis dikarenakan mabuk,tidur, maka disitu tidak ada kesengajaan.

Pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana mempunyai akibat-akibat yang lain dri pada kesimpulan, bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah unsur darin perbuatan pidana, namum simon berkata lain mengenai hal ini dia memandang bahwa kemampuan bertanggungjawab bukanlah merupakan unsur dari perbuatan pidana melainkan sebagai keadaan person yang menghapuskan perbuatan pidana.

Contoh Kasus kecelakaan maut di tol jagorawi dengan tersangka putra musisi ahmad dani, Abdul qadir jailani atau dul (13) ,kalo belum 17 tahun jangan mengendarai sepeda motor atau mobil tanpa SIM.kalo terjadi seperti yang di alami dul (putra bungsu ahmad dani). Orang tua juga ikut bertanggungjawab. Selaku pemerintah,kami berkewajiban menyadarkan orang tua dan memberi pemahaman kepada anak agar jangan melanggar aturan bangsa ini.

KESIMPULAN

Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.

Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan: :                                                                                  

Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.  

Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:

Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;

Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut

Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:

Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.

Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Saifullah. 2004. Buku Ajar Konsep Hukum Pidana.

Moeljanto. 2000. Asas-Asas Hokum Pidana. Jakarta: Rieneka Cipta

>