Kategori Berita

ZMedia

Peran Penting Walisongo dalam Penyebaran Islam di Nusantara

Faisol abrori
Berita ambon Berita maluku
Kamis, 21 Januari 2021
Peran Penting Walisongo dalam Peradaban Islam di Indonesia
Istilah "Walisongo" merupakan suatu komponen yang berperan sangat penting dalam penyebaran dan pembangunan peradaban Islam di Nusantara. Terminologi tersebut merujuk kepada sembilan orang, yang mampu mencapai tingkatan wali, yakni salah satu tingkatan yang tinggi, sehingga mampu menyebarkan nilai-nilai islami di tanah Jawa. Metode yang digunakan beragam, antara lain dengan menggunakan jalur dakwah melalui pendidikan, tasawuf, dan hikmah. Juga dengan menggunakan sistem akulturasi kebudayaan dengan nilai-nilai religius islam.

Metode Penelitian : 

Berdasarkan judul serta objek pembahasan yang dikaji, penelitian ini tergolong jenis penelitian pustaka, yakni penelitian yang mendasarkan kepada kajian kuantitatif. Sebagai acuan literatur, penulis menggunakan pengumpulan data dari berbagai literatur seperti buku, tulisan ilmiah, serta sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Pembahasan:

Dalam sejarah peradaban Islam di Nusantara, Walisongo ikut andil untuk menyebarkan ajaran islam di nusantara, khususnya pulau Jawa. Secara sederhana, Walisongo berarti sembilan wali. 

Dalam pendapat yang masyhur, wali dikaitkan sebagai seseorang yang dekat dengan Sang Khaliq (waliyullah) sedangkan kata "songo" dalam transliterasi Jawa berarti sembilan. Sehingga, Walisongo dapat diartikan sebagai sembilan wali yang dekat kepada Allah SWT, yang secara terus menerus beribadah kepada-Nya, dan memiliki kemampuan di luar nalar dan kekeramatan di luar kebiasaan manusia.

Kehadiran Walisongo memberikan impact (dampak) yang signifikan dalam perkembangan peradaban Islam di Nusantara. Mulai dari dampak sosiologis, kultural, pendidikan, dan tentunya perubahan yang paling jelas terlihat adalah perkembangan keagamaan itu sendiri. 

Dalam sejarahnya, dalam metode dakwah yang digunakan oleh Walisongo, sebenarnya mereka dikelompokan dalam 2 kubu besar. Yakni kubu yang menerapkan non-kompromis dan kompromis.

Tokoh yang menerapkan metode kompromis artinya menegakkan syariat sebagaimana mestinya, yakni sesuai aturan yang berlaku. Walisongo yang menggunakan sistem ini adalah Sunan Maulana Malik Ibrahim, lalu diteruskan oleh Sunan Ampel, dan selanjutnya oleh Sunan Giri. Baru setelahnya, muncul sosok Sunan Kalijogo yang menekankan aspek kompromis dalam pendekatan dakwahnya. Yakni bahwa melalui akulturasi kebudayaan dan dengan perlahan menghapus sinkretisme. 

Walisongo serta riwayat singkatnya

Walisongo


1. Sunan Gresik


Sunan Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan sebutan Sunan Gresik, merupakan keturunan Ali Zainal Abidin Al-Husein. Beliau memperoleh gelar Maulana Maghribi, seusai mendedikasikan waktunya untuk menyebarkan islam di Gresik, Jawa Timur. Pada tahun 1379 M, lebih tepatnya saat masa kepemimpinan kerajaan Majapahit, beliau bersama Raja Cermin datang ke India yang untuk menyebarkan ajaran agama Islam.

Syekh Maghribi tiba di Jawa pada Tahun 1404 M. Beliau berasal dari daerah bernama Samarkandi, wilayah Asia Kecil. Kemudian bermukim di Campa, lalu datang ke Jawa Timur. Menurut sejarah, beliau termasuk ulama yang ahli di bidang pertanian dan pengobatan. Terbukti, hasil pertanian di wilayah Gresik meningkat cukup signifikan. Beliau memiliki sifat yang lemah lembut dalam bertutur kata dan bersikap, belas kasihan, sehingga dikenal sebagai seseorang yang begitu disegani. Sifat itulah yang menarik banyak penduduk dari berbagai kalangan untuk berbondong-bondong masuk agama islam dengan sukarela, yang kemudian menjadi pengikut setia beliau.

Selama menetap di Gresik, beliau mendirikan pesantren beserta masjid sebagai sarana dakwah, hingga beliau wafat. Beliau wafat pada 12 Rabiul Awwal Tahun 822 H / 1419 M. Beliau dimakamkan di daerah Gapura Wetan, Gresik. 

2. Sunan Ampel


Raden Rahmat atau yang dikenal oleh masyarakat secara luas dengan panggilan Sunan Ampel merupakan keturunan raja Campa yang lahir pada Tahun 1401. Raden Rahmat menikah dengan seorang putri Tuban bernama Nyai Manila. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai 4 anak. Sunan Ampel melanjutkan perjuangan Sunan Maulana Malik Ibrahim dalam menyebarkan agama Islam. Beliau terlibat dalam proses pembangunan masjid Demak. Sunan Ampel terkenal dengan mengarang syair yang diangkat dari budaya lokal. 

Beliau juga tercatat sebagai tokoh yang pertama kali menemukan aksara pegon, yakni aksara yang berhurufkan hijaiyah dan dibaca secara bahasa Jawa. Aksara pegon inilah yang sering digunakan dalam proses belajar mengajar di lingkungan pesantren hingga kini. Ajaran beliau yang terkenal bahkan hingga saat ini, yakni "Moh Limo". Beliau wafat pada Tahun 1481 M. 

3. Sunan Bonang


Raden Makdum Ibrahim adalah nama asli dari Sunan Bonang. Beliau merupakan putra Sunan Ampel yang terkenal akan ahli ilmu kalam dan tauhid. Dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, Sunan Bonang memanfaatkan corak budaya sebagai sarananya. Bahkan beliau dianggap sebagai pencipta gendang pertama yang digunakan sebagai sarana dakwah. Setelah pulang dari Pasai, Aceh, tempat menimba ilmu, beliau kembali ke Tuban, Jawa Timur, lalu mendirikan pesantren dan menyebarkan ajaran islam.

Dalam dakwahnya, beliau menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat setempat namun tetap dalam koridor dakwah, yakni dengan menyisipkan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Syair-syair tersebut berisi tauhid, serta ajakan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Gamelan yang mengiringinya dikenal dengan sebutan sekaten, yang berasal dari istilah syahadatain (2 kalimat syahadat). Sunan Bonang wafat pada Tahun 1525 tepatnya di daerah Pulau Bawean.

4. Sunan Giri 


Dalam menyebarkan dan mewarnai peradaban Islam, Sunan Giri merupakan sosok yang cukup ikonik. Karya seni yang digunakan sebagai sarana dakwah, salah satunya yakni tembang lir-ilir, yang maknanya berisi ajakan keimanan serta menjadi pribadi yang lebih baik. 

5.  Sunan Drajat


Nama asli Sunan Drajat adalah Raden Syarifudin (ada hikayat lain yang menyebutnya Raden Qasim), yang merupakan anak dari Sunan Ampel, dan ibunya bernama Dewi Candrawati. Ketika kecil, beliau ditugaskan oleh ayahnya, yakni Sunan Ampel untuk berdakwah di barat Gresik, yakni antara Gresik dan Tuban. 

Di desa Jalag tersebut, beliau mendirikan pesantren, dan seketika dalam kurun waktu yang cukup singkat, banyak masyarakat untuk berbondong-bondong menjadi santrinya. Lalu beliau mendapatkan ilham untuk berdakwah di daerah selatan desa tersebut, kira-kira sejauh 1 kilometer, lalu mendirikan surau dan dijadikannya sebagai pusat berdakwah, kemudian beliau mendapatkan ilham lagi, untuk berdakwah di satu bukit. Dan di situ, beliau menerapkan metode kesenian dalam berdakwah. 

6. Sunan Kalijaga


Beliau bernama asli Raden Sahid. Merupakan putra dari Raden Sahur, putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Beliau merupakan sosok yang paling tidak suka dengan hadirnya ketidakadilan. Sehingga suatu hari, ia ketahuan ayahnya dan tangannya dicambuk sebanyak 100 kali hingga berdarah, lalu diusir. 

Setelah diusir dan mengembara, beliau bertemu dengan Sunan Bonang, lalu diangkatlah menjadi murid beliau. Lalu, Raden Sahid disuruh menjaga tongkatnya di depan kali, hingga berbulan-bulan, bahkan tubuhnya dipenuhi lumut. Oleh karena itu, beliau dikenal dengan Sunan Kalijaga. 
Sebagaimana tokoh Walisongo yang lain, Sunan Kalijogo juga sering mengenalkan nilai-nilai islam melalui jalur kebudayaan dan pewayangan. Beliau juga dikenal sebagai seniman wayang. 

7. Sunan Kudus


Beliau masih menggunakan pola yang sama, yakni pendekatan terhadap kebudayaan setempat, hal ini bisa kita lihat dari arsitektur masjid kudus, yang masih kental dengan ornamen khas hindu-buddha. Beliau menyebarkan syariat islam dengan halus, sehingga mudah diterima masyarakat. Dalam sistem tata kerajaan, beliau pernah menjabat sebagai panglima perang kerajaan islam Demak.

8. Sunan Muria


Uniknya, dalam berdakwah, Sunan Muria menyisipkan nilai-nilai islam di dalam pewayangan, serta mengganti nama-nama wayang dengan nuansa yang lebih islami. Selain itu, beliau juga lihai dalam meracik obat herbal yang ada di sekitar masyarakat, sehingga hal ini menjadi daya tarik tersendiri, yang membuat banyak orang berbondong-bondong masuk Islam.

9. Sunan Gunung Jati


Beliau merupakan wali yang berdakwah dengan turun langsung ke masyarakat bawah, selain itu, beliau juga satu-satunya wali dengan posisi politis sebagai kepala pemerintahan. Diantaranya, dengan memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh di kesultanan Cirebon, Banten, serta Demak.

Metode Dakwah Walisongo dalam Penyebaran Islam di Nusantara 


Dakwah Walisongo lebih menekankan kepada usaha-usaha penyampaian dakwah melalui jalan damai, yakni dengan prinsip mau'idzah hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan. Maksudnya, konsep yang ditawarkan adalah dengan melalui cara dan tutur bahasa yang baik. Pada masa awal masuknya islam, ajaran atau syariat islam dikemas dalam bentuk "pembumian islam". Menurut Thomas W Arnold dalam buku berjudul The Peaching of Islam (1977) dijelaskan bahwa tumbuh dan berkembangnya agama islam secara damai, merupakan hasil usaha para mubaligh penyebar islam dibanding hasil usaha para pemimpin negara. 

Sedangkan dalam buku Atlas Walisongo dijelaskan bahwa strategi dakwah Walisongo terbagi menjadi 3:

a. Pengaruh sufisme

Sastra-sastra bernada sufisme dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, mulai dari tembang, kidung, syair, serta hikayat. Contohnya syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair Ma'rifah karya Abdul Rauf Sinkel. Selain bukti-bukti fisik pengaruh sufisme dalam penyebaran islam oleh Walisongo, hal ini ditandai juga dengan keberadaan tarekat (thariqah) yang bahkan diamalkan oleh masyarakat hingga era saat ini. Seperti tarekat Syaththariyah, dan Ak aliyah yang dinisbatkan kepada para Walisongo, seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Ampel, serta Syekh siti Jenar. 

b. Melalui Pendidikan 

Selain melalui sufistik, wajah islam di Nusantara juga dibentuk melalui "bejana" pendidikan. Dimana proses islamisasi yang terjadi termasuk upaya untuk mengambil alih lembaga pendidikan yang sebelumnya bernuansa Syiwa Buddha yang disebut sebagai "asrama/dukuh" kemudian menjadi lembaga pendidikan Islam yang akrab dikenal dengan istilah "pesantren/pondok pesantren". Formulasi yang ditawarkan membuahkan hasil yang signifikan dan menakjubkan. Walisongo berhasil mengakulturasi lembaga pendidikan syiwa Buddha menjadi bernafaskan islam dan ketauhidan seperti yang dianut oleh para sufi. 

c. Melalui Jalur Seni dan Kebudayaan 

Jalur seni dan budaya memang sangat potensial untuk memberikan informasi dan membagikannya kepada publik secara luas. Hal ini pula yang digunakan oleh para walisongo untuk memberikan dakwah melalui jalur yang damai dan penuh sukacita. 

Pengaruh Walisongo dalam Sudut Pandang Arsitektur Masjid


Hal yang bisa dilihat dan dikenang hingga saat ini adalah pengaruh walisongo dalam perkembangan arsitektur masjid. Seperti yang kita ketahui bersama, masjid selain menjadi tempat untuk beribadah, ia juga menjadi salah satu wujud bukti sejarah peradaban Islam di Indonesia. Seperti yang terjadi dengan pendirian mesjid Demak yang luasnya mencapai 1,5 hektare menjadikan masjid ini sebagai pusat atau centre point di daerah khususnya Demak, yang kini telah melalui berbagai perubahan arsitektur masjid. 

Pengaruh Walisongo dalam Sudut Pandang Tasawuf


Dalam kacamata awam, manusia secara mayoritas masih abu-abu tentang terminologi Tasawuf itu sendiri. Banyak kalangan yang menyamakan tasawuf dengan mistik, padahal ketika dikaji lebih dalam, terdapat corak perbedaan yang khas diantara keduanya. Mistik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni kata "Myein" yang bermakna menutup mata. Dan bisa disebut juga sebagai sebuah kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang bisa saja berarti cinta, kearifan, cahaya, atau nihil. Hal itu juga mendorong pemaknaan mistik untuk diartikan sebagai "arus besar keruhanian yang mengalir dalam setiap agama"

Berbeda dengan mistik, tasawuf memiliki ciri khas tersendiri, yakni bernafaskan islam dan memiliki nilai-nilai religius islam. Hal ini dapat dilihat dari pembagian tasawuf atau mistisisme ke dalam 2 kelompok, yakni bercorak religius, dan bercorak filosofis. Dalam bentuk tasawuf religius, gejalanya mirip seperti yang terjadi di semua agama, baik agama samawi (langit) maupun agama ardhi (bumi). Dan Walisongo seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam menyebarkan islam di Nusantara juga menggunakan pendekatan tasawuf dengan bukti fisik berupa teks-teks sufistik hingga tarekat yang diikuti hingga saat ini. 

Kesimpulan

Walisongo sejatinya adalah kesembilan ulama atau cendekiawan muslim yang mampu mengkodifikasi dan menyebarkan islam di Nusantara dengan melalui pendekatan yang baik dan tanpa kekerasan, yakni dengan dakwah. Sehingga, dalam pola peradaban Islam sendiri, meninggalkan banyak hal bersejarah, baik berupa memberikan kontribusi dalam pembentukan atau arsitektur masjid, dari sektor pendidikan, hingga aspek tasawuf. 

Daftar Pusataka
Tarwilah, “Peranan Walisongo Dalam Pengembangan Dakwah Islam”. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 2006, Volume 4, No.6, 82
Ashadi. DAKWAH WALI SONGO PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PERUBAHAN BENTUK ARSITEKTUR MESJID DI JAWA
Saputra, Fantris Fitranda Nahkar. METODE DAKWAH WALI SONGO DALAM PENYEBARAN ISLAM DI JAWA DALAM BUKU ATLAS WALI SONGO KARYA AGUS SUNYOTO DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI SKI KELAS IX
Sunyoto, Agus ―Atlas Wali Songo. Depok: Pustaka Iman, 2017. hlm 159
>